Tasikmalaya - Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerapkan kebijakan baru yaitu penetapan batas minimal nilai TOEFL sebagai salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa jenjang sarjana. Kebijakan ini diatur dalam Surat Edaran Nomor 34 Tahun 2025 dan berlaku bagi mahasiswa angkatan 2023 dan sebelumnya, termasuk mahasiswa semester akhir saat ini. Pemberlakuan kebijakan tersebut menimbulkan beragam tanggapan, terutama dari mahasiswa yang tengah berada dalam tahap penyelesaian studi. Banyak dari mereka menghadapi sejumlah tantangan dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, sekaligus menyuarakan harapan agar kebijakan serupa di masa mendatang.
Yuk, simak beragam tanggapan mahasiswa mengenai kebijakan ini!
“Saya sudah ikut kursus dari lama, tapi untuk capai skor 475 itu nggak sebentar. Sehingga kita jadi lebih fokus ke TOEFL daripada skripsi. Kebijakan ini datang tiba-tiba, jadi banyak yang belum siap,” ungkap mahasiswa berinisial N dari program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) tingkat akhir.
Menurutnya, kebijakan ini mendorong lulusan UPI memiliki kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik. Ia juga mengaku sudah mengikuti kursus sejak jauh-jauh hari, tetapi pencapaian skor minimal 475 dinilainya masih cukup menantang dan membutuhkan waktu. Namun, informasi mengenai persyaratan skor disampaikan cukup mendadak, sehingga mahasiswa harus membagi fokus antara menyelesaikan skripsi dan mempersiapkan TOEFL.
“Masih banyak yang bingung, misalnya apakah harus tes tiga kali dulu baru ikut pelatihan, dan itu semua butuh biaya juga,” ujar mahasiswa PGSD berinisial A.
Ia menilai bahwa meskipun tujuannya baik, pelaksanaan kebijakan perlu disesuaikan dengan kondisi mahasiswa. Ia juga menyampaikan bahwa masih banyak mahasiswa yang belum memiliki akses atau informasi jelas terkait teknis pelaksanaan, seperti ketentuan tes tiga kali sebelum mengikuti pelatihan dari Balai Bahasa UPI. Mahasiswa berinisial A juga menekankan perlunya evaluasi rutin dari pihak kampus terhadap kebijakan ini, untuk melihat apakah benar-benar berdampak positif terhadap kesiapan kelulusan mahasiswa atau justru menjadi beban tambahan.
“Skripsi sudah selesai, tapi belum bisa sidang karena belum memenuhi skor TOEFL. Kebijakannya berubah di tengah jalan. Kalau banyak mahasiswa yang molor waktu lulus, yang rugi bukan cuma kami, tapi juga prodi dan akreditasi kampus,” ungkap mahasiswa PGPAUD berinisial R.
Ia menyoroti perubahan kebijakan yang menurutnya berdampak langsung terhadap proses kelulusan. Meskipun sudah menyelesaikan skripsi, mahasiswa belum bisa mendaftar sidang karena belum memenuhi skor TOEFL atau syarat lain seperti sertifikat kompetensi. ujarnya. Ia menilai masa transisi kebijakan kurang jelas dan menambah beban baru di tengah proses akhir studi. Ia berharap pihak kampus, terutama program studi, dapat membuat kebijakan sementara yang mempertimbangkan kondisi mahasiswa agar proses kelulusan tidak terhambat.
“Kebijakannya bagus, tapi implementasinya belum selaras,” tutur A.S, mahasiswa PGSD angkatan 2021.
Ia menilai kebijakan ini muncul mendadak di tengah proses kelulusan, ditambah dengan standar penunjang lain yang terus bertambah. Ia juga menyebut bahwa surat edaran tentang kemampuan bahasa mengalami beberapa perubahan, yang justru menimbulkan kebingungan. Menurutnya, belum ada kejelasan dan keselarasan antara isi kebijakan dan pelaksanaannya di seluruh unit UPI. Ia berharap kampus mempertimbangkan data capaian skor mahasiswa, kondisi ekonomi, serta memastikan kebijakan dijalankan secara adil dan jelas.
"Jika peraturan diturunkan pada tahun sekarang dan langsung diberlakukan keseluruhan itu seperti ga ada persiapan buat angkatan 2021 sehingga tampak kurang persiapan dan pembelajaran ga difokuskan kesana," ujar I, mahasiswa PGSD angkatan 2021.
Ia berpendapat bahwa kebijakan ini sangat berpengaruh pada studinya karena menjadi syarat untuk bisa sidang. Ia menuturkan bahwa TOEFL harusnya menjadi pendukung dan terlalu buru-buru. Selain itu, terdapat sertifikat kompetensi yang disarankan tidak terlalu relevan dengan jurusan yang sedang dijalaninya, tetapi bukan berarti tidak bermanfaat.
Mereka menyampaikan harapan agar kampus tidak memberikan informasi secara mendadak dan perlunya diskusi dengan mahasiswa sebelum kebijakan diberlakukan untuk mengurangi miskomunikasi, serta adanya evaluasi terhadap efektivitas kebijakan yang harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Hal ini sebagai bentuk upaya agar tidak menghambat kelulusan tanpa dampak yang signifikan.
"Jika ada sesuatu yang bisa diusahakan, maka rencanakan, laksanakan, dan evaluasi. Hal kecil jika dikolektifkan bisa setara dengan hal besar," pesan salah satu mahasiswa. Mereka berharap untuk angkatan 2022-2024 agar mempersiapkan sedari awal dengan mengikuti pelatihan TOEFL, memanfaatkan fasilitas kampus, serta jangan ragu untuk bertanya kepada dosen atau kakak tingkat. Selain itu, menyiapkan kemungkinan biaya dan syarat tambahan, karena aturan bisa berubah sewaktu-waktu.
Komentar
Posting Komentar